Jumat, 26 Maret 2010

masalah sosial sebagai inspirasi perubahan (kasus penyalahgunaan obat) dan upaya pemecahannya

PENDAHULUAN
BAB I
1.1 Intensitas dan Kompleksitas Masalah
Penyalahgunaan narkoba umumnya terjadi pada kaum remaja yang tinggal di perkotaan. Mereka biasanya mempunyai sifat kosmopolit, relatif tidak cepat menikah karena harus menempuh masa belajar hingga jenjang universitas, bahkan hingga memperoleh pekerjaan dianggap layak. Pada masa itulah mereka hidup dalam pancaroba; antara kanak-kanak dan kedewasaan, baik fisik, mental, maupun sosio-kulturalnya. Ia hidup antara kebebasan dan ketergantungan kepada orang tuanya, mereka ada dalam pembentukan nilai-nilainya sendiri serta sikapnya, baik sikap keagamaan, maupun sikap kultural dan sosialnya.
Remaja sedang mencari identitas sikapnya terhadap lingkungan dan sesamanya. Dalam kondisi yang serba mendua itulah seringkali remaja tergelincir ke jalur kenakalan, yang disebut juvenile delinquency. Pada masa itu banyak remaja yang melakukan kenakalan, pelanggaran hukum, bahkan tindak kriminal. Motivasinya ialah karena ingin mendapatkan perhatian “status sosial”, dan penghargaan atas eksistensi dirinya.
Dengan kata lain, kenakalan remaja merupakan bentuk pernyataan eksistensi diri di tengah-tengah lingkungan dan masyarakatnya, bukan kenakalan semata. Salah satu penyimpangan perilaku ini adalah perilaku seksual. Sementara salah satu bentuk pelanggaran hukum ialah meminum minuman keras, obat terlarang hingga ganja dan zat adiktif lainnya.
Penyalahgunaan narkoba adalah suatu pemakaian non medical atau ilegal barang haram yang dinamakan narkotik dan obat-obatan adiktif yang dapat merusak kesehatan dan kehidupan produktif manusia pemakainya. Berbagai jenis narkoba yang mungkin disalahgunakan adalah tembakau, alkohol, obat-obat terlarang dan zat yang dapat memberikan keracunan, misalnya yang diisap dari asapnya. Penyalahgunaan narkoba dapat menyebabkan ketergantungan zat narkoba, jika dihentikan maka si pemakai akan sakaw.
Penyalahgunaan atau kebergantungan narkoba perlu melakukan berbagai pendekatan. Terutama bidang psikiatri, psikologi, dan konseling. Jika terjadi kebergantungan narkoba maka bidang yang paling bertanggung jawab adalah psikiatri, karena akan terjadi gangguan mental dan perilaku yang disebabkan zat narkoba mengganggu sinyal penghantar syaraf yang disebut system neurotransmitter didalam susunan syaraf sentral (otak). Gangguan neurotransmitter ini akan mengganggu (1) fungsi kogitif (daya pikir dan memori), (2) fungsi afektif (perasaan dan mood), (3) psikomotorik (perilaku gerak), (4) komplikasi medik terhadap fisik seperti kelainan paru-paru, lever, jantung, ginjal, pancreas dan gangguan fisik lainnya.
Dadang hawari menjelaskan bahwa selain mengganggu jiwa, zat narkoba juga merusak organ fisik seperti lever, otak, paru, janin, pankreas, pencernaan, otot, endokrin dan libido. Zat tersebut juga mengganggu nutrisi, metabolisme tubuh, dan menimbulkan inveksi virus. Jika putus dari narkoba si pemakai akan mengalami sakaw. Pada peristiwa ini timbul gejala seperti air mata berlebihan (lakrimasi), cairan hidung berlebihan (rhinorea), puril mata melebar, keringat berlebihan, mual, muntah, diare, bulu kuduk beriri, menguap, tekanan darah naik, jantung berdebar, insomnia, agresif.
1.2 Jenis-jenis Narkoba
Adapun jenis-jenis narkoba anatara lain :
1. Marijuana
Adalah nama khusus untuk Hemp, suatu tanaman tinggi mencapai 2 meter, bentuk daun mirip daun singkong, daun warna hijau dan tumbuh terbaik didaerah pegunungan. Zat kimia addictive utama didalam marijuana adalah tetra hydrocannabinol yang dapat dideteksi melalui air kencing. Para pecandu narkoba menghisap marijuana dengan rokok atau pipa. Jika putus dari zat marijuana, maka si pemakai akan sakaw dengan gejala macam-macam seperti mata berair, hidung berselesma, badan jadi nyeri. Pemakaian yang semakin banyak zat marijuana akan menyebabkan kehilangan memori, kemampuan belajar, dan motivasi.Marijuana juga dapat menyebabkan distorsi persepsi (penyimpangan persepsi dari kenyataan), kehilangan koordinasi, detak jantung meningkat timbul rasa cemas yang terus menerus. Sebagai akibat medical dapat menyebabkan kerusakan paru, batuk kronis, bronchitis.

2. Cocaine
Cocaine sering dihirup melalui hidung, akan tetapi juga diisap dengan rokok atau jika disuntikkan akan berdampak penyakit HIV/AIDS. Akibat cocaine terhadap fisik pemakai adalah terhambatnya saluran darah, pupil mata membesar, panas badan meningkat, denyut jantung meningkat, darah tinggi, perasaan gelisah, nyeri, cemas. Menghisap crack cocaine bersama rokok akan menimbulkan paranoia(sejenis penyakit jiwa yang meyebabkan timbul ilusi yang salah tentang sesuatu dan akhirnya bisa bersifat agresif akibat delusi yang dialaminya). Cocaine dapat menyebabkan kematian karena pernafasannya tersendat lalu otak kekurangan oksigen.
3. Methamphetamine
Adalah sejenis obat yang kuat yang menyebabkan orang kecanduan yang dapat merangsang saraf sentral. Dapat dikonsumsi melalui mulut, dihirup, daya serangnya ke otak si pemakai.
4. Heroin
Kebanyakan pemakai heroin menyuntikkan zat tersebut ke dalam tubuhnya. Si pemakai merasakan gelora kesenangan diiringi panas badan, mulut kering, perasaan yang berat dan mental jadi kelam berawan menuju depresi di dalam system saraf sentral. Jika dihentikan maka si pemakai akan sakaw, gelisah, sakit pada otot dan tulang, insomnia, muntaber. Untuk menghilangkan kecanduan harus ada kerja sama antara pecandu dengan pembimbing/dokter. Biasannya hal ini dilakukan oleh konselor spesialis narkoba dengan menggunakan muti-methods/konseling terpadu. Metode dokter dengan memberi opiates sedikit demi sedikit dalam jangka panjang untuk pngobatan kecanduan heroin dimaksudkan agar pasien tidak melakukan injeksi yang sangat membahayakan dirinya karena over dosis dan bahaya penyakit HIV dan hepatitis C.



5. Club Drugs
a. Ecstasy.
Dapat menyebabkan depresi, cemas dalam tidur, kecemasan, paranoia. Ciri fisik : ketegangan otot, mual, pingsan, tekanan darah tinggi. Menyebabkan kerusakan otak karena sel otak rusak diserang oleh obat tersebut yang menimbulkan si pasien agresif, mood, kegiatan seks meningkat, tidur terus, sensitif kena penyakit.
b. Rohypnol.
Obat ini amat beresiko terhadap kesehatan manusia pemakai, seperti liver, ginjal, tekanan darah, kerusakan pada otak.
c. Gammahydroxybutyrate.
Akibat over dosis adalah kehilangan kesadaran, serangan jantung.
d. Ketamine.
Gejala yang dipakai adalah menimbulkan efek halusinasi dan mimpi yang diinginkan. Jika over dosis berakibat kehilangan memory, mengigau, kehilangan koordinasi.
1.3 Beberapa Ciri Khas Masa Remaja
• Perubahan peranan
Perubahan dari masa anak ke masa remaja membawa perubahan pada diri seorang individu. Kalau pada masa anak ia berperan sebagai seorang individu yang bertingkah laku dan beraksi yang cenderung selalu bergantung dan dilindungi, maka pada masa remaja ia diharapkan untuk mampu berdiri sendiri dan ia pun berkeinginan mandiri. Akan tetapi sebenarnya ia masih membutuhkan perlindungan dan tempat bergantung dari orang tuanya. Pertentangan antara keinginan untuk bersikap sebagai individu yang mampu berdiri sendiri dengan keinginan untuk tetap bergantung dan dilindungi, akan menimbulkan konflik pada diri remaja. Akibat konflik ini, dalam diri remaja timbul kegelisahan dan kecemasan yang akan mewarnai sikap dan tingkah lakunya. Ia menjadi mudah sekali tersinggung, marah, kecewa dan putus asa.
• Daya fantasi yang berlebihan
Keterbatasan kemampuan yang ada pada diri remaja menyebabkan ia tidak selalu mampu untuk memenuhi berbagai macam dorongan kebutuhan dirinya.
• Ikatan kelompok yang kuat
Ketidakmampuan remaja dalam menyalurkan segala keinginan dirinya menyebabkan timbulnya dorongan yang kuat untuk berkelompok. Dalam kelompok, segala kekuatan dirinya seolah-olah dihimpun sehingga menjadi sesuatu kekuatan yang besar. Remaja akan merasa lebih aman dan terlindungi apabila ia berada di tengah-tengah kelompoknya. Oleh karena itu ia berusaha keras untuk dapat diakui oleh kelompoknya dengan cara menyamakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada dalam kelompoknya. Rasa setia kawan terjalin dengan erat dan kadang-kadang menjurus ke arah tindakan yang membabi buta.
• Krisis identitas
Tujuan akhir dari suatu perkembangan remaja adalah terbentuknya identitas diri. Dengan terbentuknya identitas diri, seorang individu sudah dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan: siapakah, apakah saya mampu dan dimanakah tempat saya berperan. Ia telah dapat memahami dirinya sendiri, kemampuan dan kelamahan dirinya serta peranan dirinya dalam lingkungannya. Sebelum identitas diri terbentuk, pada umumnya akan terjadi suatu krisis identitas. Setiap remaja harus mampu melewati krisisnya dan menemukan jatidirinya.
1.4 Berbagai Motivasi Dalam Penyalahgunaan Obat
• Motivasi dalam penyalahgunaan zat dan narkotika ternyata menyangkut motivasi yang berhubungan dengan keadaan individu (motivasi individual) yang mengenai aspek fisik, emosional, mental-intelektual dan interpersonal.
• Di samping adanya motivasi individu yang menimbulkan suatu tindakan penyalahgunaan zat, masih ada faktor lain yang mempunyai hubungan erat dengan kondisi penyalahgunaan zat yaitu faktor sosiokultural seperti di bawah ini; dan ini merupakan suasana hati menekan yang mendalam dalam diri remaja; antara lain:
1. Perpecahan unit keluarga misalnya perceraian, keluarga yang berpindah-pindah, orang tua yang tidak ada/jarang di rumah dan sebagainya.
2. Pengaruh media massa misalnya iklan mengenai obat-obatan dan zat.
3. Perubahan teknologi yang cepat.
4. Kaburnya nilai-nilai dan sistem agama serta mencairnya standar moral; (hal ini berarti perlu pembinaan Budi Pekerti – Akhlaq)
5. Meningkatnya waktu menganggur.
6. Ketidakseimbangan keadaan ekonomi misalnya kemiskinan, perbedaan ekonomi etno-rasial, kemewahan yang membosankan dan sebagainya.
7. Menjadi manusia untuk orang lain.
Adanya faktor-faktor sosial kultural seperti yang dikemukakan di atas akan mempengaruhi kehidupan manusia dan dapat menimbulkan motivasi tertentu untuk mamakai zat. Pengaruh ini akan terasa lebih jelas pada golongan usia remaja, karena ditinjau dari sudut perkembangan, remaja merupakan individu yang sangat peka terhadap berbagai pengaruh, baik dari dalam diri maupun dari luar dirinya atau lingkungan.
Adapun faktor lain yang beresiko tinggi sehingga remaja dapat menggunakan narkoba, diantaranya :
1. Keluarga yang kacau balau, terutama adanya orang tua yang menjadi penyalahguna narkoba atau menderita sakit mental
2. Orang tua dan anak kurang saling memberi kasih sayang dan pengasuhan
3. Anak/remaja yang sangat pemalu
4. Anak yang bertingkah laku agresif
5. Gagal dalam mengikuti pelajaran di sekolah
6. Miskin ketrampilan sosial
7. Bergabung dengan kelompok sebaya yang berperilaku menyimpang
8. Tidak bisa berkomunikasi dengan orang tua
9. Tidak berada dalam pengawasan orang tua
10. Suka mencari sensasi
11. Dikucilkan dan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya
12. Tidak mau mengikuti aturan / norma / tata tertib
1.5 Ciri-ciri penyalahgunaan narkoba :
1. Perubahan fisik dan lingkungan sehari-hari
2. Jalan sempoyongan, bicara pelo, tampak terkantuk-kantuk
3. Kamar tidak mau diperiksa atau selalu dikunci
4. Sering didatangi atau menerima telepon orang-orang yang tidak dikenal
5. Ditemukan obat-obatan, kertas timah, jarum suntik, korek api di kamar/di dalam tas.
6. Terdapat tanda-tanda bekas suntikan atau sayatan
7. Sering kehilangan uang/barang di rumah
Perubahan psikologis :
1. Malas belajar
2. Mudah tersinggung
3. Sulit berkonsentrasi
Perubahan perilaku sosial :
1. Menghindari kontak mata langsung
2. Berbohong atau memanipulasi keadaan
3. Bengong atau linglung
4. Mengabaikan kegiatan ibadah
5. Menarik diri dari aktivitas bersama keluarga
6. Sering menyendiri atau bersembunyi di kamar mandi, di gudang atau tempat-tempat tertutup.
Aspek psikologis
1. Emosi tidak terkendali
2. Curiga berlebihan sampai pada tingkat Waham (tidak sejalan antara pikiran dan kenyataan)
3. Selalu berbohong
4. Tidak merasa aman
5. Tidak mampu mengambil keputusan yang wajar
6. Tidak memiliki tanggung jawab
7. Kecemasan yang berlebihan dan depresi
8. Ketakutan yang luar biasa
9. Hilang ingatan (gila)
Aspek sosial
1. Hubungan dengan keluarga, guru, dan teman serta lingkungannya terganggu
2. Mengganggu ketertiban umum
3. Selalu menghindari kontak dengan orang lain
4. Merasa dikucilkan atau menarik diri dari lingkungan positif
5. Tidak peduli dengan norma dan nilai yang ada
6. Melakukan hubungan seks secara bebas
7. Tidak peduli dengan norma dan nilai yang ada
8. Melakukan tindakan kekerasan, baik fisik, psikis maupun seksual
9. Mencuri.





PEMBAHASAN
BAB II

2.1 Latar Belakang
Perilaku menyimpang tumbuh di kalangan masyarakat akibat kurang seimbangnya masalah ekonomi, terutama terhadap para remaja Indonesia yang sering menggunakan minum-minuman keras dan obat-obatan terlarang. Mungkin mereka kurang perhatian dari orang tua mereka atau mungkin juga karena ajakan para pemakai atau teman-temannya.
Penyalahgunaan narkoba terhadap para pelajar SMA dan SMP berawal dari penawaran dari pengedar narkoba. Mula-mula mereka diberi beberapa kali dan setelah mereka merasa ketergantungan terhadap narkoba itu, maka pengedar mulai menjualnya. Setelah mereka saling membeli narkoba, mereka disuruh pengedar untuk mengajak teman-temannya yang lain untuk mencoba obat-obatan terlarang tersebut.
Narkoba pertama kali dibuat oleh orang Inggris dan pertama kali disebarkan ke daerah daratan Asia mulai dari China, Hongkong, Jepang sampai ke Indonesia. Narkoba yang paling banyak dikirim ke daerah Asia adalah heroin dan morfin. Di Indonesia juga sudah mulai ada yang memproduksi narkoba jenis ganja, pil lexotan dan pil Extaci
Narkoba biasanya dikonsumsi oleh anak-anak orang kaya, yang kurang perhatian dari orang tuanya. Biasanya mereka mengkonsumsi jenis pil lexotan dan Extaci karena proses pembelian dan penggunaannya lebih mudah dan praktis. Pada mulanya mereka minum minuman beralkohol di diskotik atau bar, tetapi lama kelamaan mereka mulai memakai narkoba.
• Perhatian orang tua dan guru sangat diperlukan oleh anak remaja.
1. Menghargai Eksistensi Remaja.
Salah satu latar belakang ialah memahami eksistensi pelajar dan bagaimana keadaan/peranan bimbingan dan konseling.



2. Eksistensi Siswa.
A. Di keluarga
Orang tua dapat mengadakan diskusi tentang masalah yang di hadapi anak-anak. Dialog antara orang tua - anak memberikan penghargaan/eksistensi anak dikeluarga karena dalam hal ini keterbukaan orang tua menjadi kunci kesuksesan dialog.
B. Di sekolah
Kepribadian guru yang ramah serta membuka diri untuk berdialog dengan pelajar akan membuka peluang bagi pelajar untuk menyatakan tentang kesulitan/masalahnya sendiri.
C. Di masyarakat
Para tokoh masyarakat hendaknya menyadari bahwa para pelajar memerlukan keterbukaan dan penghargaan terhadap mereka. Bimbingan terhadap kelompok remaja, tersedianya sarana bagi pengembangan bakat remaja diperlukan saat ini.
3. Keadaan Keluarga dan Sekolah.
Yang telah memenuhi kebutuhan materi bagi anggotanya tetapi kurang memenuhi kebutuhan psikologis seperti perhatian, kasih sayang akan menyebabkan anak-anak merasa jenuh dan merasa kehilangan orang tempat mengadukan perasaan seperti kecewa, stres.
4. Peran Guru Sebagai Pembimbing
Semua guru harus berperan sebagai pembimbing. Untuk mencapai tujuan tersebut seharusnya guru-guru bidang studi dilatih ilmu ketrampilan BK.



2.2 Upaya Pemulihan
1. Metode-metode pemulihan pecandu.
Upaya pemulihan pecandu narkoba secara medis dan psikologis di negara kita kebanyakan berpedoman pada cara yang dilakukan Amerika, yakni pemulihan total pasien dengan pendekatan obat, rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual, spiritual, fisik.
2. Metode konseling terpadu.
Adalah upaya memberikan bantuan kepada klien kecanduan narkoba dengan menggunakan beragam pendekatan konseling dan memberdayakan klien terhadap lingkungan sosial agar klien segera menjadi anggota masyarakat yang normal, bermoral. Metode ini, diantaranya adalah :
a. Konseling individu
b. Bimbingan kelompok
c. Konseling keluarga
d. Pendidikan dan Pelatihan
e. Kunjungan
f. Partisipasi social
3.Aplikasi konseling terpadu
a. Studi kasus
b. Program konseling terpadu



2.3 Upaya Pencegahan Masalah Penyalahgunaan Obat

Karakteristik psikologis yang khas pada remaja merupakan faktor yang memudahkan terjadinya tindakan penyalahgunaan obat.
Namun demikian, untuk terjadinya hal tersebut masih ada faktor lain yang memainkan peranan penting yaitu faktor lingkungan si pemakai obat. Faktor lingkungan tersebut memberikan pengaruh pada remaja dan mencetuskan timbulnya motivasi untuk menyalahgunakan obat. Dengan kata lain, timbulnya masalah penyalahgunaan obat dicetuskan oleh adanya interaksi antara pengaruh lingkungan dan kondisi psikologis remaja.
Di dalam upaya pencegahan, tindakan yang dijalankan dapat diarahkan pada dua sasaran proses. Pertama diarahkan pada upaya untuk menghindarkan remaja dari lingkungan yang tidak baik dan diarahkan ke suatu lingkungan yang lebih membantu proses perkembangan jiwa remaja. Upaya kedua adalah membantu remaja dalam mengembangkan dirinya dengan baik dan mencapai tujuan yang diharapkan (suatu proses pendampingan kepada si remaja, selain pengaruh lingkungan pergaulan di luar selain rumah dan sekolah).
Jadi remaja sebenarnya berada dalam 3 (tiga) pengaruh yang sama kuat, yakni sekolah (guru), lingkungan pergaulan dan rumah (orang tua dan keluarga); serta ada 2 buah proses yakni menghindar dari lingkungan luar yang jelek, dan proses dalam diri si remaja untuk mandiri dan menemukan jati dirinya.
Dalam rangka membimbing dan mengarahkan perkembangan remaja, tindakan yang harus dan dapat dilakukan, secara garis besar akan diuraikan di bawah ini:
1. Sikap dan tingkah laku
Tujuan dari suatu perkembangan remaja secara umum adalah merubah sikap dan tingkah lakunya, dari cara yang kekanak-kanakan menjadi cara yang lebih dewasa. Sikap kekanak-kanakan seperti mementingkan diri sendiri (egosentrik), selalu menggantungkan diri pada orang lain, menginginkan pemuasan segera, dan tidak mampu mengontrol perbuatannya, harus diubah menjadi mampu memperhatikan orang lain, berdiri sendiri, menyesuaikan keinginan dengan kenyataan yang ada dan mengontrol perbuatannya sehingga tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Untuk itu dibutuhkan perhatian dan bimbingan dari pihak orang tua. Orang tua harus mampu untuk memberi perhatian, memberikan kesempatan untuk remaja mencoba kemampuannya. Berikan penghargaan dan hindarkan kritik dan celaan.
2. Emosional
Untuk mendapatkan kebebasan emosional, remaja mencoba merenggangkan hubungan emosionalnya dengan orang tua, ia harus dilatih dan belajar untuk memilih dan menentukan keputusannya sendiri. Usaha ini biasanya disertai tingkah laku memberontak atau membangkang. Dalam hal ini diharapkan pengertian orang tua untuk tidak melakukan tindakan yang bersifat menindas, akan tetapi berusaha membimbingnya secara bertahap. Udahakan jangan menciptakan suasana lingkungan yang lain, yang kadang-kadang menjerumuskannya. Anak menjadi nakal, pemberontak dan malah mempergunakan narkotika (menyalahgunakan obat).
3. Mental – intelektual
Dalam perkembangannya mental – intelektual diharapkan remaja dapat menerima emosionalnya dengan memahami mengenai kelebihan dan kekurangan dirinya. Dengan begitu ia dapat membedakan antara cita-cita dan angan-angan dengan kenyataan sesungguhnya. Pada mulanya daya pikir remaja banyak dipengaruhi oleh fantasi, sejalan dengan meningkatnya kemampuan berpikir secara abstrak.
Pikiran yang abstrak ini seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dan dapat menimbulkan kekecewaan dan keputusasaan. Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan bantuan orang tua dalam menumbuhkan pemahaman diri tentang kemampuan yang dimilikinya berdasarkan kemampuan yang dimilikinya tersebut. Jangan membebani remaja dengan berbagai macam harapan dan angan-angan yang kemungkinan sulit untuk dicapai.

4. Sosial
Untuk mencapai tujuan perkembangan, remaja harus belajar bergaul dengan semua orang, baik teman sebaya atau tidak sebaya, maupun yang sejenis atau berlainan jenis. Adanya hambatan dalam hal ini dapat menyebabkan ia memilih satu lingkungan pergaulan saja misalnya suatu kelompok tertentu dan ini dapat menjurus ke tindakan penyalahgunaan zat. Sebagaimana kita ketahui bahwa ciri khas remaja adalah adanya ikatan yang erat dengan kelompoknya. Hal ini menimbulkan ide, bagaimana caranya agar remaja memiliki sifat dan sikap serta rasa (Citra), disiplin dan loyalitas terhadap teman, orang tua dan cita-citanya.
Selain itu juga kita sebagai orang tua dan guru, harus mampu menumbuhkan suatu Budi Pekerti/Akhlaq yang luhur dan mulia; suatu keberanian untuk berbuat yang mulia dan menolong orang lain dan menjadi teladan yang baik.
5. Pembentukan identitas diri
Akhir daripada suatu perkembangan remaja adalah pembentukan identitas diri. Pada saat ini segala norma dan nilai sebelumnya merupakan sesuatu yang datang dari luar dirinya dan harus dipatuhi agar tidak mendapat hukuman, berubah menjadi suatu bagian dari dirinya dan merupakan pegangan atau falsafah hidup yang menjadi pengendali bagi dirinya. Untuk mendapatkan nilai dan norma tersebut diperlukan tokoh identifikasi yang menurut penilaian remaja cukup di dalam kehidupannya.
Orang tua memegang peranan penting dalam preoses identifikasi ini, karena mereka dapat membantu remajanya dengan menjelaskan secara lebih mendalam mengenai peranan agama dlam kehidupan dewasa, sehingga penyadaran ini memberikan arti yang baru pada keyakinan agama yang telah diperolehnya. Untuk dapat menjadi tokoh identifikasi, tokoh tersebut harus menjadi kebanggaan bagi remaja. Tokoh yang dibanggakan itu dapat saja berupa orang tua sendiri atau tokoh lain dalam masyarakat, baik yang masih ada maupun yang hanya berasal dari sejarah atau cerita.
Sebagai ikhtisar dari apa yang dapat dilakukan orang tua dan guru dalam upaya pencegahan, dapat dikemukakan sebagai berikut:
• ¬ Memahami sikap dan tingkah laku remaja dan menghadapinya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.
• ¬ Memberikan perhatian yang cukup baik dalam segi material, emosional, intelektual, dan sosial.
• ¬ Memberikan kebebasan dan keteraturan serta secara bersamaan pengarahan terhadap sikap, perasaan dan pendapat remaja.
• Menciptakan suasana rumah tangga/keluarga yang harmonis, intim, dan penuh kehangatan bagi remaja.
• ¬ Memberikan penghargaan yang layak terhadap pendapat dan prestasi yang baik.
• ¬ Memberikan teladan yang baik kepada remaja tentang apa yang baik bagi remaja.
3 ¬ Tidak mengharapkan remaja melakukan sesuatu yang ia tidak mampu atau orang tua tidak melaksanakannya (panutan dan keteladanan).

lapisan-lapisan dalam masyarakat (stratifikasi sosial)

LAPISAN-LAPISAN DALAM MASYARAKAT (STRATIFIKASI SOSIAL)

Stratifikasi sosial,
Menurut Aristoteles : 3 unsur lapisan pada masyarakat : mereka yang kaya sekali, di tengah-tangah, dan melarat
Menurut Pitrim A. Sorokin : Stratifikasi social : perbedaan penduduk dilihat dari lapisan kelasnya
Menurut Drs. Robert M.Z Lawang : Stratifikasi sosial : penggolongan orang yang di masukkan orang ke dimensi kekuasaan, privilese, dan prestise
konsep-konsepnya :
1. penggolongan
2. Sistem sosial
3. Lapisan hirarkis : Lapisan atas (upper), menengah (middle), bawah (lower)
4. Kekuasaan : Adalah kesempatan yang ada pada seseorang untuk melakukan kemauannya sendiri. Jenisnya : kekuasaan utilitarian (menekan), koersif (memaksa), dan persuasif (mengajak tanpa paksaan)
5. Privilese : Hak istimewa. Jenisnya : privile ekonomi (bidang pendidikan, keseehatan, pekerjaan), privile budaya
6. Pristise : Kehormatan

Hubungan antardimensi stratifikasi :
Dimensi disini adalah kekuasaan, privilese, dan prestise
Dibedakan menjadi 3 kelas :
Kelas kepemilikan (co: uang, tanah, emas, dll), kelas perdagangan (co : wiraswasta, banker, dll), kelas sosial (co : gaya hidup)

Mobilitas sosial : Perpindahan posisi dari lapisan yang satu ke lapisan lainnya
Jenisnya : mobilitas vertikal, dan horizontal.
• Vertikal : perindahan posisi dari rendah ke tinggi maupun sebaliknya.
• Horizontal : mendatar

(referensi dari buku sosiologi suatu pengantar penulis soerjono soekanto )

kebudayaan. norma, dan lembaga sosial

KEBUDAYAAN, NORMA, DAN LEMBAGA SOSIAL

Kebudayaan dari bahasa sanksekerta, berarti Hasil budi manusia untuk menapai kesempurnaan hidup
Menurut,
E.B Taylor : kebudayaan adalah Jalinan yang dilakukan oleh manusia meliputi moral, keagamaan, adat, dll
Leslie White : kebudayaan adalah Tindakan, ide-ide, perasaan, dengan penggunakan simbol
Koentjoroningrat : kebudayaan adalah Keseluruhan gagasan dan karya manusia dari hasil budi tersebut
S. Soemardjan dan S. Soemardi : kebudayaan adalah Semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat

Kebudayaan Material : Hasil cipta, karsa. Misal : gedung, jalan, rumah, dll
Kebudayaan non material : Yang terwujud pada kebiasaan, atau adat istiadat, dll

Unsur-unsurnya :
Menurut Melville J. Herskcvits : Alat teknologi, system ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik
Menurut Bronislaw Malinowski : Sistem norma, organisasi ekonomi, alat lembaga, organisasi kekuatan
Menurut C. Kluckhon : Peralatan hidup manusia, mata pencarian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kemiskinan, pengetahuan, religi

Fungsi kebudayaan : Melindungi diri dari alam, mengatur hubungan antar manusia juga sebagai wadah untuk menyatakan perasaan

Norma ( Patokan perilaku dalam suatu kelompok tertentu) : Cara, kebiasaan, tata kelakuan, adat istiadat

Lembaga sosial :
Menurut koentjoroningrat : Sistem tata kelakuan dan hubungan pada aktifitas idividu
Menurut Robert Mac Iver dan Charles H. Page : Tata cara untuk mengatur hubungan antar manusia
Menurut S. soekanto : Tingkatan norma yang berkisar pada kebutuhan pokok masyarakat
Menurut Leopold dan Howard : Proses hubungan antar manusia untuk memelihara kelangsungan hubungan tersebut
Tujuuannya : memberikan pedoman, menjaga keutuhan, pengendalian social pada masyarakat
Cirinya : terdiri dari adat istiadat/kebiasaan, sistem kepercayaan dan bermacam tindakan, memiliki tujuan, mempunyai alat perlengkapan, ciri khas pada lambang, memiliki tradisi tertulis maupun tak tertulis
Jenisnya : pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan kehidupan, mata pencaharian, kebutuhan ilmiah manusia, kebutuhan pendidikan, keindahan dan rekreasi, berhubungan dengan Tuhan, kehidupan berkelommpok, dan kebutuhan jasmani

Pengendalian sosial , Meliputi : pengawasan dari individu terhadap individu lain, individu terhadap kelompok, kelompok terhadap kelompok kelompok tehadap individu
Memiliki Cara : Cara persuasif ( mengajak ), cara koersif ( ancaman dengan menggunakan fisik )


( referensi dari buku sosiologi suatu pengantar penulis soerjono soekanto )

proses sosial dan interaksi

PROSES SOSIAL DAN INTERAKSI

Proses sosial : Cara berhubungan seseorang atau kelompok manusia yang saling bertemu dengan membentuk siuatu hubungan.
Pengaruh timbal balik : Antara individu dengan kelompok mengenai berbagai aspek. Seperti, plitik, ekonomi, sosial, budaya.
Segi kehidupan : Penerapan aspek dalam kehidupan sosial yang menentukan perkembangan dalam kehidupan bersama
Sosiolog klasik : Struktur dari pada masyarakat
Meliputi : Kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifkasi, dan kekuasaan.

Pandangan sosiolog saat ini, di lihat dari :
• Struktur masyarakat (segi statis) : Kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, strarifikasi sosial, kekuatan, kaedah sosial.
• Fungsi masyarakat (segi dinamis) : Perubahan dan perkembangan masyarakat, yang tejadi karena interaksi pada masyarakat.

Interaksi sosial (Prof. DR. Soejono) : adalah kunci semua kehidupan sosial, tidak ada interaksi berarti tidak mungkin ada kehidupan bersama

Macam-macam interaksi sosial :
• Antara kelompok-kelompok manusi, tapi pribadi terkait
• Antara individu dan individu, dimana masyarakat terkait

Faktor dasar proses interaksi : Imitasi (meniru), sugesti (mempengaruhi), identifikasi(menyamakan diri), simpati (tetarik untuk berhubungan)

Syarat terjadinya : Karena adanya kontak, dank arena adanya komunikasi
Bentuk-bentuknya : Kerjasama, persaingan, pertentangan, akomodasi
Bentuk akomodasi :
1. Coersion
2. Compromise
3. Arbitration
4. Mediation
5. Conciliation
6. Toleration
7. Stalemate
8. Adjudication.

(referensi dari sosiologi suatu pengantar penulis soerjono soekanto )

kelompok sosial

KELOMPOK SOSIAL
Kelompok sosial : Kelompok pusat dari perhatian berinteraksi (pemikiran sosiologis) hingga tejadilah kebersamaan
Soejono Soekanto, Syarat dikatakan kelompok sosial, antara lan:
1. Setiap anggota harus sadar bahwa ia sebagian dari kelompok
2. Adanya timbal balik dengan anggota
3. Adanya suatu faktor yang dimiliki bersama untuk menambah keeratan
4. Berstruktur, berkadah, dan memiliki pola perilaku
Memiliki kriteria :
• Banyaknya jumlah anggota
• Derajat interaksi sosial
• Kepentingan dan wilayah
• Belangsungnya suatu kepentingan
• Derajat organisasi
• Kesadaran akan hubungan sosial
Kategorinya :
- In-group : Kelompok sosial dimana individu mengidentifikasikan dirinya
- Out-group : Kelompok dimana individu menganggapnya sebagai lawan

Charles cooley, Bukunya yang berjudul Social Organization : Perbedaan primary group dan secondary goup
• Primary group : kelompok yang interaksinya lebih intensif
• Secondary group : kelompok yang interksinya tidak langsung

Ferdinand tonies :
• Gemeinschaft (paguyuban) : Bentuk kehidupan yang memiliki ikatan batin yang murni
• Gesellschaft (petembayan) : Bentuk kehidupan yang memiliki ikatan lahir yang pokok

Robert K. Merton :
• Membership group : Setiap individu secara fisik sebagai anggota kelompok
Co : Nominal group member, peripheral group member
• Reference group : Mengukur pribadi dan perilaku seseorang
Co : Normative type, comparison type

Kelompok sosial yang tidak teratur
• Kerumunan (crowd) : Berkumpulnya suatu massa ke tempat tertentu
Co : aktif, ekspresif
• Public : Interaksi antar individu secara tidak langsung yakni media komunikasi

Kingsley davis
Bentuk umum kerumunan :
Yang berartikulasi dengan struktur sosial. (co : khalayak, kelompok ekspresif)
Bersifat sementara. (co : kumpulan kurang menyenangkan, kerumunan orang panic, kerumunan penonton
Berlawanan dengan hokum (co : emosionil, immoril)

sejara h perkembangan sosiologi

SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI
Auguste Comte (1798-1857) : Bapak Sosiologi
Sebelum Auguste comte
• Plato (429-327 SM)
• Aristoteles (384-322 SM)
• Ibnu Khaldun (1372-1406)
• Thomas More (1200-1600), Tulisannya CITY OF TEHE SUN

3 tahap perkembangan intelektual :
1. Tahap Teologi : Manusia menafsirkan gejala disekelilingnya secara teologis (kekuatan yang dikendalikan ruh).
2. Tahap Metafisika : Manusia menganggap di alam gejala terdapat kekuatan.
3. Tahap Perkembangan Manusia : Memusatkan perhatian pada gejala yang nyata tanpa ada pertimbangan lainnya

Timbulnya sosiologi modern :
Pertengahan abad 20 ,Pelopornya :Emile Durkheim (1858-1917), W.I. Thomas (1863-1947)
Terlihat dengan adanya perubahan yang mewarnai sosiologi, yaitu perubahan bentuk dari cabang filsafat sosial ke suatu cabang ilmu.
Pendapat para ahli sosiolog terhadap sosiologi modern
- Ilmuan Herbert Spencer (1178) : Dengan menggabungkan teori penting secara gradiasi dari suatu masyarakat primitif berkembang kearah masyarakat industri.
- Lesterward (1883) : Dengan karyanya “Dynamic Sociologi”, menjelaskan tentang aktivitas sosial yang hubungannya dapat dilakukan oleh para sosiolog.
- Max Weber (1884-1920) : Bahwa studi ilmu sosial berdasarkan gejala dalam dunia kehidupan bersama.

Sosiologi di Indonesia:
(1) Sebelum prang dunia ke II, dengan bukti :
• Ajaran Wulang Reh dari Sri Paduka Mangkunegara IV.
• Ajaran Tata Hubungan Antar Manusia dan Pendidikan dari Ki Hajar Dewantara.
• Karya-karya sarjana belanda, misalnya : Snouck Hurgronye, Van Vollen, Ter Haar, dll.
• Memberikan mata kuliah sosiologi sebagai pelengkap pada Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta.
(2) Setelah perang dunia ke ll, dengan terlihatnya :
• Di ajarkannya mata kuliah sosiologi di Fakultas Sosial Politik UGM.
• Tahun 1950 diberikan kesempatan bagi mahasiswa dan sarjana ke luar negeri untuk memperdalamm ilmu sosiologi.
• Munculnya berbagai buku tentang sosiologi.

ruang lingkup sosiologi

RUANG LINGKUP SOSIOLOGI

Diperkenalkan oleh Auguste comte
Berasal dari bahasa Latin (Socius = kawan); bahasa Yunani (Logos = berbicara).
Sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat.
Definisi sosiologi
a. Peter L. Berger : Ilmu yang mempelajari hubungan anatara masyarakat dan individu.
b. Pitrim Sorokin : Ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbale balik gejala-gejala social, non-sosial, dan cirri-ciri gejala social.
c. J.A.A Van Dorn dan C.J Lamners : Ilmu yang mempelajari struktur dan proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
d. Roucek dan Warren : Ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok.
e. S.Soemardjan dan S.Soemardi : Ilmu yang mempelajari strukrur,proses, termasuk perubahan social.
Sosiologi sebagai ilmu sosial : Membahas masyarakat dari berbagai segi dan sudut pandang yang berbeda.
Sebagai ilmu penggetahuan :
Menurut peter R. Seen Ilmu pengetahuan : Suatu sistem yang menghasilkan kebenaran.
Komponen utama dari sitem ilmu :
• Perumusan masalah
• Pengamatan
• Penjelasan
• Kontrol
Menurut S. soekanto Ilmu pengetahuan : Pengetahuan yang tersusun sistematis dengan pemikiran dan pengetahuan terkontrol.

ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah dan disusun secara sistematis.
Ilmu meliputi :
1. Pengetahuan (knowledge)
2. Metode
3. Disusun secara sistematis
Memiliki 4 sifat, yaitu :
a. Empiris : Didasarkan pada pengamatan dan penalaran yang bersifat rasional.
b. Teoritis : Didasarkan pada unsur yang logis dari hasil observasi.
c. Kumulatif : Didasarkan pada teori yang sudah ada.
d. Non-etis : Didasarkan pada perilaku sosial.

Objek sosiologi : masyarakat
Auguste Comte : Kehidupan manusia adalah objek dari sosiologi.
Mac Iver dan Page : Suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara menjalin hubungan sosial.
Ralph Linton : Kelompok manusia sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas yang jelas.

Cirri-ciri masyarakat :
1. Hidup bersama
2. Begaul
3. Adanya kesadaran

Aspek yang dibahas :
• Struktur sosial
• Proses sosial
• Perubahan sosial

Metode yang digunakan :
a. Kualitatif : Menggunakan petunjuk perilaku masyarakat pada masa silam.
b. Kuantitatif : Menggunakan keterangan dengan angka.
c. Induktif : Menggunakan kaidah yang berlaku secara umum.
d. Deduktif : Mempelajari keadaan kaidah yang berlaku.
e. Fungsionalisme : Menggunakan lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial.

(referensi dari buku soerjono soekanto)

Rabu, 10 Maret 2010

kasus kemiskinan

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Intensitas dan Kompleksitas Masalah
Memahali masalah kemiskinan sering kali memang menuntut adanya upaya untuk melakukan pendefinisian dan pengukuran. Dalam konsep ekonomi misalnya, studi masalah kemiskinan akan segera terkait dengan konsep standar hidup, pendapatan dan distribusi pendapatan. Konsep taraf hidup (level of living) misalnya, tidak cukup dilihat dari sudut pendapatan, akan tetapi perlu juga melihat faktor pendidikan,kesehatan,perumahanan, dan kondisi sosial yang lain.
Hardiman dan Midgley (1982:33), mengemukakan tiga pendekatan yaitu : garis kemiskinan, indikator kesejahteraan dan pengukur ketimpangan. Pandangan ini menghendaki agar indikator pembangunan lebih melihat perbaikan kehidupan dilihat dari aspek manusianya (improvement of human life). Dengan demikian pembangunan harus diperuntukan bagi semua pihak dan semua lapisan masyarakat, paling tidak mengandung tujuan yaitu :
1. Memperbaiki hal-hal yang berkaitan dengan penompang hidup warga masyarakat
2. Memperbaiki kondisi kehidupan yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan harga diri
3. Adanya kebebasan, termasuk di dalamnya kebebasan dari penindasan, dari ketidakacuhan serta dari kesengsaraan dan kemelaratan (Goulet 1973: 94).
Adanya berbagai variasi pendekatan tersebut menunjukan bahwa kemiskinan dapat dilihat secara absolut dan secara relatif. Secara absolut maksudnya tingkat kemiskinan di ukur dengan standar tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka yang taraf hidupnya di bawah standar di katakan miskin, sebaliknya mereka yang berada di atas standar dinyatakan tidak miskin.
Apabila perbbandingannya dilakukan antara dua kondisi yang mempunyai rentang waktu yang cukup panjang dan tuntutan kebutuhan hidup juga semakin meningkat sebagai perubahan sosial ekonomi yang telah terjadi, maka standar dianggap sudah tidak memadai lagi.
Permasalah yang sama akan diumpai apabila memerhatikan stratifikasi sosial yang ada, walaupun lapisan bawah telah meningkat taraf hidupnya, akan tetapi peningkatan itu di bandingkan dengan yang dialami oleh lapisan lain masih jauh lebih rendah, maka secara relatif masih merasakan kondisinya tetap miskin. Disamping itu pengertiam kemiskinan absolut, dikenal juga pengertian kemiskinan relatif. Melalui konsep kemiskinan relatif ini, kemiskinan tidak semata-mata diukur dengan menggunakan standar yang baku.
Interpretasi yang dilakukan dapat menggunakan referensi yang dilakukan dapat menggunakan referensi hasil interaksi sosialnya, misalnya pemahaman tentang taraf hidup lapisan masyarakat lain dan pemahaman tentang tntutan kebutuhan yang semakin meningkat. Agar dapat memahami masalah kemiskinan yang lebih mendalam, maka tidak dapat berhenti sampai pendefinisian dan pengukuran kemiskinan, akan tetapi perlu melihat intensitas dan karakteristik masalahnya, serta sampai seberapa jauh masalah tersebut membawa pengaruh pada berbagai segmen kehidupan masyarakat. Pada umumnya orang berpendapat , bahwa kondisi kemiskinan tersebut telah memengaruhi secara negatif terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat sehingga tidak jarang menciptakan suatu kondisi yang di sebut lingkaran yang tak berujung pangkal.
Dari sudut ekonomi misalnya, dapat dikatakan bahwa karena kondisi kemiskinan, maka pendapatan hanya cukup bahkan tidak jarang kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimal. Dari sisi lain, lingkaran kemiskinan dapat terbentuk dari rendahnya gizi dan nutrisi.
Kondisi kemiskinan dapat membentuk mata rantai : rendahnya nilai gizi dan nutrisi dalam konsumsi pangan – derajat kesehatan rendah – produktivitas kerja rendah – pendapatan rendah – kemiskinan.
Sementara itu Kartodirdjo (1987: 75) menempatkan dua jenis sindrom yaitu sindrom kemiskinan dan sindrom inertia sebagai permasalahan pokok yang harus dipecahkan dalam usaha pembangunan. Di daerah pedesaan, sindrom kemiskinan berkaitan dengan berbagai dimensi yang saling memperkuat seperti produktivitas rendah, pengangguran, tunatanah, kurang gizi, tingginya morbiditas, dan buta huruf. Sedangkan sindrom inertia berakar pada passivisme, fatalisme, terarah ke dalam, serba patuh, ketergantungan.
Dari berbagai pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa masalah kemiskinan sering kali sudah mengarah pada terjadinya komplikasi yang membuat lebih sulit untuk melakukan penanganan yang tuntas. Paling tidak kondisi tersebut mengisyaratkan perlunya penanganan yang bersifat komprehensif.
Menurut chamber (1987: 145) mengemukakan dimensi yang lebih luas berkaitan dengan masalah kemiskinan di daerah pedesaan. Dimensi tersebut juga di katakan saling berkaitan satu sama lain. Oleh sebab itulah dia menamakannya sebagai perangkap kemiskinan yang esensinya tidak berbeda dengan lingkaran kemiskinan dan sindrom kemiskinan seperti yang sudah diuraikan sebelumnya.
Faktor-faktor yang membentuk jaringan berupa perangkap kemiskinan tersebut adalah : kemiskinan, kelemahan fisik, isolasi, kerentanan, dan ketidak berdayaan.
Pelajaran yang dapat di petik dari tulisan Chamber tadi adalah bahwa pemahaman dan penanganan masalah kemiskinan tidak bisa dan tidak perlu melibatkan banyak aspek terutama ekonomis, psikologis, sosiologi, dan politis.
Aspek ekonomis, antara lain menyangkut terbatasnya pemilihan faktor produksi, rendahnya tinggi upah, posisi tawar yang lemah dalam menentukan harga, rentan terhadap kebutuhan mendesak karena tidak punya tabungan, kemampuan yang lemah dalam mengantisipasi peluang ekonomi.
Aspek psikologis, berkaitan dengan perasaan rendah diri, sikap fatalisme dan merasa terisolasi.
Aspek sosiologi, rendahnya akses pelayanan sosial, berbatasnya jaringan interaksi sosial dan terbatasnya penguasaan informasi.
Aspek politis, berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, perlakuan diskriminatif, lemahnya posisi dalam melakukan bergaining untuk menuntut hak dan kurangnya keterlibatan dalam proses pengambilam keputusan.
Memang lebih banyak relita kemiskinan di daerah pedesaan, walaupun demikian kecenderungan tadi sebetulnya juga berlaku untuk kondisi kemiskinan pada umumnya.
Dalam pembahasannya tentang kemiskinan di Amerika Serikat pada umumnya justru terdapat dalam masyarakat kota, Eitzen (1986: 165) juga mengendetifikasikan adanya berbagai konsekuensi psikologi dan sosiologis.
Dalam pandangan masyarakat lain mereka terkesan malas, kotor, dan imoral. Kondisi ini di dasari oleh lapisan miskin sendiri dan mereka mendefinisikan dirinya sebagai kelompok yang gagal dan kelompok yang terlempar dari lingkungannya. Kesadaran semacam ini sering menimbulkan sikap yang apatis.
Bahkan dalam masyarakat kota yang lebih bersifat individualistik dengan hasrat kota yang lebih bersifat individualistik dengan hasrat berprestasi yang lebih tinggi, di mana faktor kerja dan memperoleh uang merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat, maka menjadi miskin dan kehilangan pekerjaan akan mempunyai dampak sosiologis dan psikologis yang lebih berat.
Kerja merupakan sumber utama dari self respect guna memenuhi kebutuhan afiliasi dan aktualisasi diri (scanzoni, 1967: 339) dalam masyarakat yang sudah berkembang semakin kompleks, uang dianggap sebagai mobilitas sosial dan di anggap bernilai.Memperoleh uang di anggap merupakan tujuan antara, karena berada di antara motivasi dan kebutuhan dengan tujuan akhir yang berupa kehidupan yang lebih disukai.
Sehubungan dengan hal ini, kondisi keluarga miskin sebagai lingkungan sosial kurang mendukung atau kurang membantu terbentuknya watak atau sifat pribadi yang dapat mendobrak kemiskinan (Saparinah Sadli dalam, 1986: 128).
Kondisi yang dikatakan kurang kondusif trsebut terutama dilihat dari situasi yang tidak mendukung proses belajar, kebiasaan mengundur pemuasan mendadak dari kebutuhannya dan stigma yang menjadi cap sebagai keluarga miskin yang akan berpengaruh bagi kepribadian anak. Beberapa faktor yang dapat memperkokoh kondisi kemiskinan seperti telah disebut terdahulu seperti ; fatalisme, ketidakberdayaan, terarah ke dalam (in group orientation)
Dan isolasi (Departemen Sosial RI bekerja sama dengan jurusan Sosiatri UGM, 1992: 29) memerhatikan faktor pendidikan anak-anak keluarga miskin seperti itu sudah cukup sebagai gambaran untuk menjelaskan bertahannya kondisi kemiskinan dalam keluarga miskin dari generasi ke generasi.

Secara teoretik paling tidak dikenal tiga alternatif yang dapat dilakukan oleh kelompok miskin dalam menanggapi kehidupannya.
Bentuk yang pertama dilakukan mencoba memperbaiki keadaan dengan bekerja keras sepanjang memungkinkan. Apabila cara ini gagal, yang harus di lakukan adalah mengembangkan pola budaya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kemiskinan ersebut.
Cara yang ke dua berupa tindakan melarikan diri dari realita yang tidak disukai. Dalam bentuk yang cukup ekstrem cara yang ke dua ini dapat menjurus pada gangguan mental dan sikap yang aptis.
Cara yang ke tiga cenderung merupakan usaha untuk mengubah sistem dan kemapanan yang di anggap menjadi penyebab kondisinya yang miskin.
Menurut Chamber (1987: 183) ketiga strategi bersikap itu juga berlaku bagi kelompok miskin di daerah pedesaan. Walaupun demikian, menurut pengamatannya strategi menyingkir dan bersuara (avoidance dan aggression) merupakan strategi yang mengandung risiko, sehingga kurang disukai kelompok miskin di pedesaan.
Dan pada umumnya mereka lebih suka memilih menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisa yang ada (accommodation).
1.2 Latar Belakang Masalah
KEMISKINAN bukan ungkapan asing bagi kita, masyarakat negara ketiga. Masing-masing pikiran kita punya persepsi tentang yang mana “miskin” dan mana “tidak miskin” atau “kaya”. Setiap saat kita dijejali dengan sekian produk “pemiskinan” yang membuat kita secara tidak sadar, mengkondusifkan proses “memiskinkan” diri sendiri.
Dalam skala yang lebih besar, tak ayal, bangsa kita juga bangsa yang miskin. Dengan memakai perpsektif apapun, semiskin-miskinnya bangsa lain, kita akan tetap berstatus miskin. Kita tidak layak disebut “kaya” karena kita masih miskin. Biarpun berlimpah sumber daya alam (SDA), toh kita tetap tidak mampu berbuat banyak. Kita juga miskin gerak, miskin uang, miskin moral dan miskin akhlak, dan lain sebagainya yang miskin.
Jika tak berlebih, Indonesia boleh dijuluki sebagai negeri duka kaum papa. Berdasarkan survey Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah masyarakat miskin pada tahun 2001 di negara ini sebesar 17,5 % atau berkisar 34,6 juta jiwa, sedangkan berdasarkan angka Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 2001, presentase keluarga miskin (Prasejahtera dan Sejahtera I) mencapai 52,07 %, lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia pada tahun yang sama. Dalam hitungan lain, hasil SUSENAS mengantongi angka 98 juta jiwa (48%) penduduk miskin Indonesia. Dengan memakai angka apapun, akan tetap banyak masyarakat kita yang berada pada level “miskin”.
Meskipun tidak secara langsung berhubungan, tingkat pengangguran, logikanya biimplikasi dengan kemiskinan. Jumlah penganggur di negara ini tahun 2000 lalu diperkirakan mencapai 38,5 Juta jiwa, hampir sama besarnya dengan jumlah masyarakat miskin.
Dalam kondisi objektif seperti ini, pemerintah memikul konsekuensi logis merumuskan upaya pengentasan kemiskinan. Sejak kemerdekaan diproklamirkan, label “negara miskin” masih juga belum bisa dilepaskan dari etalase pembangunan nasional. Yang paling menyedihkan, adalah tingkat Human Development Index (HDI) nasional Indonesia pada tahun 2003 yang jauh tertinggal dari banyak negara berkembang, negara-negara yang dulu banyak belajar dan dibantu oleh kita. Kita harus puas dengan rangking 117 dari 175 negara, juru kunci di ASEAN!
HDI dikenal juga sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM), mewakili keberhasilan pembangunan suatu negara diukur dari perspektif ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Untuk perspektif ekonomi, HDI yang sangat rendah tersebut, melambangkan keterpurukan moneter dan tidak adanya kondusifitas pengembangan ekonomi. Krisis multidimensi yang menerpa negara kita pada penghujung 1997 dan pertengahan 1998, menyisakan trauma ekonomis yang cukup mendalam. Iklim investasi memburuk, sejalan dengan terjungkalnya sektor ekonomi menengah ke bawah dan distabilitas perpolitikan nasional.
Tak terkecuali pendidikan dan sektor kesehatan. Sebagai “public goods” (kebutuhan publik), kedua sektor ini – bagaimanapun konteksnya, akan tetap dibutuhkan hadirnya, dalam kondisi krisis kemarin, tak dapat dinafikkan, juga mengalami imbas yang cukup berarti. Selain itu, sektor-sektor lainnya semisal hukum, pertanian, kultur dan sebagainya, pun tak luput dihembus angin distabilitas. Bangsa kita sakit, kronik malah.
Problem nasional kita menjadi semakin kompleks dan memutlakkan penyelesaian sistemik dan kompleks pula. Buntutnya, masyarakat miskin, yang sebelumnya memang sudah miskin, kembali terdesak menjadi miskin berganda, miskin sirkuler, bahkan tidak sedikit yang miskin herediter. Penghujung dekade 90-an, resonansi kemiskinan muncul dengan kemasan dan wajah baru yang lebih menyeramkan. Bangsa ini, bangsa yang memuja kemiskinan !
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
• Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
• Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
• Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori, yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif . Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank dunia mendefinisikan kemisinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah (relatif) untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dengan batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang di dunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari. Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001. Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkankaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan Negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang .
1.2.1Penyebab kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
• Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
• Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
• Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.
• Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
• Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negera terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang di istilahkan sebagai pekerja miskin yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.













BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penanganan Masalah dari Berbagai Aspek
Apabila studi masalah sosial dianggap sebagai suatu proses, maka penanganan kemiskinan sebagai salah satu bentuk masalah sosial selalu terkait dengan pemahaman terhadap latar belakang atau faktor-faktor yang di anggap sebagai sumber masalah. Strategi dan pendekatan dalam menangani masalah akan sangat di tentukan oleh pendekatan dalam menangani masalah yang digunakan dalam memahami latar belakang masalanya.
Sebagaimana sudah di uraikan sebelumnya, maka strategi pembangunan masyarakat dalam menangani kemiskinan akan sangat di pengaruhi oleh pendekatan dalam memahami latar belakang dari sumber masalahnya.
Dalam hal ini,upaya pembangunan masyarakat akan lebih di titik beratkan pada peningkatan kualitas manusianya sehingga dapat berfungsi lebih efektif dalam upaya peningkatan taraf hidupnya.
Sementara itu,apabila kemiskinan dianggap merupakan akibat dari kelemahan struktur dan sistem maka strategi penanganan kemiskinan lebih di titikberatkan pada perubahan sistem dan perubahan struktural.
Di samping itu, perubahan struktural juga dimaksudkan sebagai upaya pemberdayaan lapisan kemiskin sehingga akan memberi peluang yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam posisi tawar.
Dalam kaitannya dengan pembangunan masyarakat desa, Long (1977: 144) mengetegahkan adanya dua pendekatan utama. Pendekatan ini tidak melakukan perubahan mendasar dalam sistem dan struktur sosial, sehingga memungkinkan kesinambungan dan bertahannya institusi sosial dan sistem pemilikan tanah.
Di banding pertanian, pendekatan ini pernah diimplementasikan secara luas dalam bentuk revolusi hijau, yang di Indonesia salah satunya dalam program bimas dam inmas. Dengan cara tersebut, dapat terwujud dengan adanya redistribusi penguasaan resources yang memungkinkan berkurangnya konsentrasi penguasaan pera petani, dapat bekerja bagi tanah miliknya sendiri.
Dilihat dari seberapa jauh suatu strategi pembangunan, masyarakat melakukan perubahan struktural dalam rangka usaha peningkatan taraf hidup.
Dixon (1990: 59) membedakan adanya tiga strategi. Dari yang kurang mensyaratkan perubahan stuktural sampai yang lebih mensyaratkan perubahan struktural, urutannya adalah strategi teknokkratik, reformis dan radikal.
• Strategi teknokkratik terutama bertujuan untuk peningkatan produksi,dengan demikian sasaran utamanya adalah lapisan yang memungkinkan peningkatan produksi secara cepat dan efesien yaitu elite desa dan pemilik tanah luas.
• Strategi reformis bertujuan untuk melakukan redistribusi pendapatan di samping peningkatan produksi, untuk itu strategi ini mengambil sasaran utama petani menengah.
• Strategi radikal mempunyai tujuan utama melakukan perubahan struktural dan institusional dalam rangka mempercepat terjadinya redistribusi kewenangan politik, kekayaan dan produksi.
Melalui partisipasi ini maka lebih dapat diharapkan lapisan miskin tidak hanya kedudukan sebagai konsumen program, tetapi ikut serta menentukan program yang dianggap paling cocok bagi mereka.
Kramer (1969: 4) mengemukakan empat bentuk parsipasi lapisan miskin dalam program pengentasan kemiskinan.
• Bentuk pertama merupakan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan pada kebijakan pada program yang akan di jalankan.
• Bentuk ke dua partisipasi dalam perkembangan progam. Dasar pemikirannya adalah sebagai kelompok sasaran, lapisan miskin akan berkedudukan sebagai komsumen program. Oleh sebab itu agar program yang ditawarkan betul-betul sesuai dengan kebutuhan,maka mereka perlu di denger pendapat dan sarannya terutama tentang kebutuhan dan kepentingan yang betul-betul riil.
• Bentuk partisipasi ke tiga lebih menekankan pada keterlibatkan dalam gerakan sosial bentuk ini barangkali radikal dan kontroversial di bandingakan dengan bentuk yang lainnya.
• Bentuk partisipasi ke empat biasanya dinilai sebagai bentuk yang paling tidak kontroversial berupa keterlibatan lapisan miskin di dalam berbagai pekerjaan.
Keempat bentuk tersebut adalah sekadar alternatif yang di tawarkan kramer. Alternatif mana yang di pilih akan sangat ditentukan oleh kondisi permasalahan kemiskinan yang dihadapi.
Mengingat bahwa pembangunan masyarakat termasuk rangka pengentasan kemiskinan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, maka reorientasi kebijakan yang di maksud dapat di mulai dari lingkup pembangunan nasional.
Pertumbuhan ekonomi memang merupakan suatu syarat yang harus di penuhi tetapi belum merupakan sutu syarat yang mencukupi bagi terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi.
Oleh sebab itu, wajar apabila orang berharap dapat mengawinkan pertumbuhan dan pemerataan tersebut melalui strategi redistribusi dengan pertumbuhan. Strategi redistribusi dengan pertumbuhan ini terutama menekankan penyaluran kembali dana-dana investasi baru, terutama dari pemerintah kepada golongan penduduk yang paling miskin agar dengan demikian mereka dapat memupuk garta produktif yang dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan mereka.
Strategi alternatif yang di usulkan adalah bahwa porsi sumber daya pembangunan, tabungan, kredit, keahlian, keuangan, administrator dan kekuasaan harus semakin melimpah ditumpahkan ke daerah pedesaan (Nasikun, 1991)
Kecenderungan tersebut juga menjadi bahan pemikiran berbagai penyandang dana internasional yang memberikan bantuan kepada negara-negara sedang berkembang. Mereka mengharapkan agar bantuan tersebut lebih banyak di manfaatkan untuk kelompok sasaran lapisan masyarakat yang paling membutuhkan yaitu mayoritas penduduk miskin.

Tiga strategi dasar selama dasawarsa 1970-an :
1. Bantuan disalurkan ke tempat mayoritas penduduk miskin melalui program pembangunan desa terpadu.
2. Bantuan dipusatkan untuk mengatasi cacat standar kehidupan orang-miskin melalui program bantuan dasar manusia.
3. Bantuan dipusatkan kepada kelompok yang mempunyai ciri-ciri sosioekonomi melalui proyek yang sengaja dirancang untuk masyarakat khusus tertentu.(Rondiinelli, 1990: 91).
Orientasi produksi terutama berisi perluasan peluang kerja di daerah pedesaan dan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, permasalahan yang kemudian tampil adalah kesenjangan antara program pembangunan dengan kondisi, permasalahan dan kebutuhan nyata dalam masyarakat.
Atas dasar pemikiran itu maka strategi alternatif yang kemudian ditawarkan bukan pembangunan yang berorientasi produksi melainkan pembangunan yang berpusat pada rakyat, bukan program pembangunan yang bersifat uniform melainkan program yang memerhatikan variasi lokal. Berdasarkan analisis tentang berbagai faktor yang melatar belakangi dan dianggap sebagai sumber masalah kemiskinan tersebut.
Pada umumnya strategi penanganan kemiskinan yang bersifat nasional diusahakan menggunakan pendekatan yang komprehensif dan berusaha mengakomodasi penanganan berbagai sumber masalahnya.
Lima strategi utamanya adalah :
1. Perluasan kesempatan kepada kelompok miskin dalam pemenuhan hak-hak dasar dan tarif lama yang berkelanjutan.
2. Pemberdayaan kelembagaan masyarakat guna lebih memungkinkan partisipasi kelompok miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik.
3. Peningkatan kapasitas untuk mengembangkan kemampuan dasar dan berusaha agar kelompok miskin dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan.
4. Perlindungan sosial dan rasa aman terutama bagi kelompok rentan.
5. Penataan kemitraan global untuk menata ulang berhubungan dan kerjasama dengan lembaga internasional guna mendukung pelaksanaan strategi pertama sampai keempat.
2.2 Upaya Penanggulangan Kemiskinan
Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan kemiskinan pekerjaan social terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi-wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip in dikenal dengan pendekatan “person in environment dan person in situation”.
Seperti yang telah dijelaskan diatas Depsos sebagai suatu instansi memiliki pula beberapa agenda yang memang merupakan disiapkan untuk menekan angka kemiskinan, diantara program kerja Depsos yang telah terealisasi yang menurut Edi Suharto, Phd adalah strategi pendekatan pertama yaitu pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana si miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer group), maupun masyarakat. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan (institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa bentuk PROKESOS yang telah dan sedang dikembangkan oleh Depsos dapat disederhanakan menjadi :
1. pemberian pelayanan dan rehabilitasi social yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial
2. program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial
3. bekerjasama dengan instansi lain dalam melakukan swadaya dan pemberdayaan usaha miro, dan pendistribusian bantuan kemanusiaan, dan lain-lain
Pendekatan kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism yang melihat si miskin secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan unik. Program anti kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang dihadapinya. PROKESOS penanganan kemiskinan dapat dikategorikan ke dalam beberapa strategi, diantaranya :
1. Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban bencana alam.
2. Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulant untuk usaha-usaha ekonomis produktif.
3. Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja.
4. Strategi “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser disebut sebagai “the missing piece strategy” ini meliputi program-program yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit, program KUBE (kelompok usaha bersama)


(referensi dari www.google.com dan wikipedia.com)