Rabu, 10 Maret 2010

kasus kemiskinan

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Intensitas dan Kompleksitas Masalah
Memahali masalah kemiskinan sering kali memang menuntut adanya upaya untuk melakukan pendefinisian dan pengukuran. Dalam konsep ekonomi misalnya, studi masalah kemiskinan akan segera terkait dengan konsep standar hidup, pendapatan dan distribusi pendapatan. Konsep taraf hidup (level of living) misalnya, tidak cukup dilihat dari sudut pendapatan, akan tetapi perlu juga melihat faktor pendidikan,kesehatan,perumahanan, dan kondisi sosial yang lain.
Hardiman dan Midgley (1982:33), mengemukakan tiga pendekatan yaitu : garis kemiskinan, indikator kesejahteraan dan pengukur ketimpangan. Pandangan ini menghendaki agar indikator pembangunan lebih melihat perbaikan kehidupan dilihat dari aspek manusianya (improvement of human life). Dengan demikian pembangunan harus diperuntukan bagi semua pihak dan semua lapisan masyarakat, paling tidak mengandung tujuan yaitu :
1. Memperbaiki hal-hal yang berkaitan dengan penompang hidup warga masyarakat
2. Memperbaiki kondisi kehidupan yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan harga diri
3. Adanya kebebasan, termasuk di dalamnya kebebasan dari penindasan, dari ketidakacuhan serta dari kesengsaraan dan kemelaratan (Goulet 1973: 94).
Adanya berbagai variasi pendekatan tersebut menunjukan bahwa kemiskinan dapat dilihat secara absolut dan secara relatif. Secara absolut maksudnya tingkat kemiskinan di ukur dengan standar tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa mereka yang taraf hidupnya di bawah standar di katakan miskin, sebaliknya mereka yang berada di atas standar dinyatakan tidak miskin.
Apabila perbbandingannya dilakukan antara dua kondisi yang mempunyai rentang waktu yang cukup panjang dan tuntutan kebutuhan hidup juga semakin meningkat sebagai perubahan sosial ekonomi yang telah terjadi, maka standar dianggap sudah tidak memadai lagi.
Permasalah yang sama akan diumpai apabila memerhatikan stratifikasi sosial yang ada, walaupun lapisan bawah telah meningkat taraf hidupnya, akan tetapi peningkatan itu di bandingkan dengan yang dialami oleh lapisan lain masih jauh lebih rendah, maka secara relatif masih merasakan kondisinya tetap miskin. Disamping itu pengertiam kemiskinan absolut, dikenal juga pengertian kemiskinan relatif. Melalui konsep kemiskinan relatif ini, kemiskinan tidak semata-mata diukur dengan menggunakan standar yang baku.
Interpretasi yang dilakukan dapat menggunakan referensi yang dilakukan dapat menggunakan referensi hasil interaksi sosialnya, misalnya pemahaman tentang taraf hidup lapisan masyarakat lain dan pemahaman tentang tntutan kebutuhan yang semakin meningkat. Agar dapat memahami masalah kemiskinan yang lebih mendalam, maka tidak dapat berhenti sampai pendefinisian dan pengukuran kemiskinan, akan tetapi perlu melihat intensitas dan karakteristik masalahnya, serta sampai seberapa jauh masalah tersebut membawa pengaruh pada berbagai segmen kehidupan masyarakat. Pada umumnya orang berpendapat , bahwa kondisi kemiskinan tersebut telah memengaruhi secara negatif terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat sehingga tidak jarang menciptakan suatu kondisi yang di sebut lingkaran yang tak berujung pangkal.
Dari sudut ekonomi misalnya, dapat dikatakan bahwa karena kondisi kemiskinan, maka pendapatan hanya cukup bahkan tidak jarang kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimal. Dari sisi lain, lingkaran kemiskinan dapat terbentuk dari rendahnya gizi dan nutrisi.
Kondisi kemiskinan dapat membentuk mata rantai : rendahnya nilai gizi dan nutrisi dalam konsumsi pangan – derajat kesehatan rendah – produktivitas kerja rendah – pendapatan rendah – kemiskinan.
Sementara itu Kartodirdjo (1987: 75) menempatkan dua jenis sindrom yaitu sindrom kemiskinan dan sindrom inertia sebagai permasalahan pokok yang harus dipecahkan dalam usaha pembangunan. Di daerah pedesaan, sindrom kemiskinan berkaitan dengan berbagai dimensi yang saling memperkuat seperti produktivitas rendah, pengangguran, tunatanah, kurang gizi, tingginya morbiditas, dan buta huruf. Sedangkan sindrom inertia berakar pada passivisme, fatalisme, terarah ke dalam, serba patuh, ketergantungan.
Dari berbagai pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa masalah kemiskinan sering kali sudah mengarah pada terjadinya komplikasi yang membuat lebih sulit untuk melakukan penanganan yang tuntas. Paling tidak kondisi tersebut mengisyaratkan perlunya penanganan yang bersifat komprehensif.
Menurut chamber (1987: 145) mengemukakan dimensi yang lebih luas berkaitan dengan masalah kemiskinan di daerah pedesaan. Dimensi tersebut juga di katakan saling berkaitan satu sama lain. Oleh sebab itulah dia menamakannya sebagai perangkap kemiskinan yang esensinya tidak berbeda dengan lingkaran kemiskinan dan sindrom kemiskinan seperti yang sudah diuraikan sebelumnya.
Faktor-faktor yang membentuk jaringan berupa perangkap kemiskinan tersebut adalah : kemiskinan, kelemahan fisik, isolasi, kerentanan, dan ketidak berdayaan.
Pelajaran yang dapat di petik dari tulisan Chamber tadi adalah bahwa pemahaman dan penanganan masalah kemiskinan tidak bisa dan tidak perlu melibatkan banyak aspek terutama ekonomis, psikologis, sosiologi, dan politis.
Aspek ekonomis, antara lain menyangkut terbatasnya pemilihan faktor produksi, rendahnya tinggi upah, posisi tawar yang lemah dalam menentukan harga, rentan terhadap kebutuhan mendesak karena tidak punya tabungan, kemampuan yang lemah dalam mengantisipasi peluang ekonomi.
Aspek psikologis, berkaitan dengan perasaan rendah diri, sikap fatalisme dan merasa terisolasi.
Aspek sosiologi, rendahnya akses pelayanan sosial, berbatasnya jaringan interaksi sosial dan terbatasnya penguasaan informasi.
Aspek politis, berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, perlakuan diskriminatif, lemahnya posisi dalam melakukan bergaining untuk menuntut hak dan kurangnya keterlibatan dalam proses pengambilam keputusan.
Memang lebih banyak relita kemiskinan di daerah pedesaan, walaupun demikian kecenderungan tadi sebetulnya juga berlaku untuk kondisi kemiskinan pada umumnya.
Dalam pembahasannya tentang kemiskinan di Amerika Serikat pada umumnya justru terdapat dalam masyarakat kota, Eitzen (1986: 165) juga mengendetifikasikan adanya berbagai konsekuensi psikologi dan sosiologis.
Dalam pandangan masyarakat lain mereka terkesan malas, kotor, dan imoral. Kondisi ini di dasari oleh lapisan miskin sendiri dan mereka mendefinisikan dirinya sebagai kelompok yang gagal dan kelompok yang terlempar dari lingkungannya. Kesadaran semacam ini sering menimbulkan sikap yang apatis.
Bahkan dalam masyarakat kota yang lebih bersifat individualistik dengan hasrat kota yang lebih bersifat individualistik dengan hasrat berprestasi yang lebih tinggi, di mana faktor kerja dan memperoleh uang merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat, maka menjadi miskin dan kehilangan pekerjaan akan mempunyai dampak sosiologis dan psikologis yang lebih berat.
Kerja merupakan sumber utama dari self respect guna memenuhi kebutuhan afiliasi dan aktualisasi diri (scanzoni, 1967: 339) dalam masyarakat yang sudah berkembang semakin kompleks, uang dianggap sebagai mobilitas sosial dan di anggap bernilai.Memperoleh uang di anggap merupakan tujuan antara, karena berada di antara motivasi dan kebutuhan dengan tujuan akhir yang berupa kehidupan yang lebih disukai.
Sehubungan dengan hal ini, kondisi keluarga miskin sebagai lingkungan sosial kurang mendukung atau kurang membantu terbentuknya watak atau sifat pribadi yang dapat mendobrak kemiskinan (Saparinah Sadli dalam, 1986: 128).
Kondisi yang dikatakan kurang kondusif trsebut terutama dilihat dari situasi yang tidak mendukung proses belajar, kebiasaan mengundur pemuasan mendadak dari kebutuhannya dan stigma yang menjadi cap sebagai keluarga miskin yang akan berpengaruh bagi kepribadian anak. Beberapa faktor yang dapat memperkokoh kondisi kemiskinan seperti telah disebut terdahulu seperti ; fatalisme, ketidakberdayaan, terarah ke dalam (in group orientation)
Dan isolasi (Departemen Sosial RI bekerja sama dengan jurusan Sosiatri UGM, 1992: 29) memerhatikan faktor pendidikan anak-anak keluarga miskin seperti itu sudah cukup sebagai gambaran untuk menjelaskan bertahannya kondisi kemiskinan dalam keluarga miskin dari generasi ke generasi.

Secara teoretik paling tidak dikenal tiga alternatif yang dapat dilakukan oleh kelompok miskin dalam menanggapi kehidupannya.
Bentuk yang pertama dilakukan mencoba memperbaiki keadaan dengan bekerja keras sepanjang memungkinkan. Apabila cara ini gagal, yang harus di lakukan adalah mengembangkan pola budaya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kemiskinan ersebut.
Cara yang ke dua berupa tindakan melarikan diri dari realita yang tidak disukai. Dalam bentuk yang cukup ekstrem cara yang ke dua ini dapat menjurus pada gangguan mental dan sikap yang aptis.
Cara yang ke tiga cenderung merupakan usaha untuk mengubah sistem dan kemapanan yang di anggap menjadi penyebab kondisinya yang miskin.
Menurut Chamber (1987: 183) ketiga strategi bersikap itu juga berlaku bagi kelompok miskin di daerah pedesaan. Walaupun demikian, menurut pengamatannya strategi menyingkir dan bersuara (avoidance dan aggression) merupakan strategi yang mengandung risiko, sehingga kurang disukai kelompok miskin di pedesaan.
Dan pada umumnya mereka lebih suka memilih menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisa yang ada (accommodation).
1.2 Latar Belakang Masalah
KEMISKINAN bukan ungkapan asing bagi kita, masyarakat negara ketiga. Masing-masing pikiran kita punya persepsi tentang yang mana “miskin” dan mana “tidak miskin” atau “kaya”. Setiap saat kita dijejali dengan sekian produk “pemiskinan” yang membuat kita secara tidak sadar, mengkondusifkan proses “memiskinkan” diri sendiri.
Dalam skala yang lebih besar, tak ayal, bangsa kita juga bangsa yang miskin. Dengan memakai perpsektif apapun, semiskin-miskinnya bangsa lain, kita akan tetap berstatus miskin. Kita tidak layak disebut “kaya” karena kita masih miskin. Biarpun berlimpah sumber daya alam (SDA), toh kita tetap tidak mampu berbuat banyak. Kita juga miskin gerak, miskin uang, miskin moral dan miskin akhlak, dan lain sebagainya yang miskin.
Jika tak berlebih, Indonesia boleh dijuluki sebagai negeri duka kaum papa. Berdasarkan survey Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah masyarakat miskin pada tahun 2001 di negara ini sebesar 17,5 % atau berkisar 34,6 juta jiwa, sedangkan berdasarkan angka Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 2001, presentase keluarga miskin (Prasejahtera dan Sejahtera I) mencapai 52,07 %, lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia pada tahun yang sama. Dalam hitungan lain, hasil SUSENAS mengantongi angka 98 juta jiwa (48%) penduduk miskin Indonesia. Dengan memakai angka apapun, akan tetap banyak masyarakat kita yang berada pada level “miskin”.
Meskipun tidak secara langsung berhubungan, tingkat pengangguran, logikanya biimplikasi dengan kemiskinan. Jumlah penganggur di negara ini tahun 2000 lalu diperkirakan mencapai 38,5 Juta jiwa, hampir sama besarnya dengan jumlah masyarakat miskin.
Dalam kondisi objektif seperti ini, pemerintah memikul konsekuensi logis merumuskan upaya pengentasan kemiskinan. Sejak kemerdekaan diproklamirkan, label “negara miskin” masih juga belum bisa dilepaskan dari etalase pembangunan nasional. Yang paling menyedihkan, adalah tingkat Human Development Index (HDI) nasional Indonesia pada tahun 2003 yang jauh tertinggal dari banyak negara berkembang, negara-negara yang dulu banyak belajar dan dibantu oleh kita. Kita harus puas dengan rangking 117 dari 175 negara, juru kunci di ASEAN!
HDI dikenal juga sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM), mewakili keberhasilan pembangunan suatu negara diukur dari perspektif ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Untuk perspektif ekonomi, HDI yang sangat rendah tersebut, melambangkan keterpurukan moneter dan tidak adanya kondusifitas pengembangan ekonomi. Krisis multidimensi yang menerpa negara kita pada penghujung 1997 dan pertengahan 1998, menyisakan trauma ekonomis yang cukup mendalam. Iklim investasi memburuk, sejalan dengan terjungkalnya sektor ekonomi menengah ke bawah dan distabilitas perpolitikan nasional.
Tak terkecuali pendidikan dan sektor kesehatan. Sebagai “public goods” (kebutuhan publik), kedua sektor ini – bagaimanapun konteksnya, akan tetap dibutuhkan hadirnya, dalam kondisi krisis kemarin, tak dapat dinafikkan, juga mengalami imbas yang cukup berarti. Selain itu, sektor-sektor lainnya semisal hukum, pertanian, kultur dan sebagainya, pun tak luput dihembus angin distabilitas. Bangsa kita sakit, kronik malah.
Problem nasional kita menjadi semakin kompleks dan memutlakkan penyelesaian sistemik dan kompleks pula. Buntutnya, masyarakat miskin, yang sebelumnya memang sudah miskin, kembali terdesak menjadi miskin berganda, miskin sirkuler, bahkan tidak sedikit yang miskin herediter. Penghujung dekade 90-an, resonansi kemiskinan muncul dengan kemasan dan wajah baru yang lebih menyeramkan. Bangsa ini, bangsa yang memuja kemiskinan !
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:
• Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
• Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
• Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

Kemiskinan bisa dikelompokan dalam dua kategori, yaitu Kemiskinan absolut dan Kemiskinan relatif . Kemiskinan absolut mengacu pada satu set standard yang konsisten, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat / negara. Sebuah contoh dari pengukuran absolut adalah persentase dari populasi yang makan dibawah jumlah yg cukup menopang kebutuhan tubuh manusia (kira kira 2000-2500 kalori per hari untuk laki laki dewasa).
Bank dunia mendefinisikan kemisinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD $1/hari dan Kemiskinan menengah (relatif) untuk pendapatan dibawah $2 per hari, dengan batasan ini maka diperkiraan pada 2001 1,1 miliar orang di dunia mengkonsumsi kurang dari $1/hari dan 2,7 miliar orang didunia mengkonsumsi kurang dari $2/hari. Proporsi penduduk negara berkembang yang hidup dalam Kemiskinan ekstrem telah turun dari 28% pada 1990 menjadi 21% pada 2001. Melihat pada periode 1981-2001, persentase dari penduduk dunia yang hidup dibawah garis kemiskinan $1 dolar/hari telah berkurang separuh. Tetapi , nilai dari $1 juga mengalami penurunan dalam kurun waktu tersebut.
Meskipun kemiskinan yang paling parah terdapat di dunia bekembang, ada bukti tentang kehadiran kemiskinan di setiap region. Di negara-negara maju, kondisi ini menghadirkankaum tuna wisma yang berkelana ke sana kemari dan daerah pinggiran kota yang miskin. Kemiskinan dapat dilihat sebagai kondisi kolektif masyarakat miskin, atau kelompok orang-orang miskin, dan dalam pengertian ini keseluruhan Negara kadang-kadang dianggap miskin. Untuk menghindari stigma ini, negara-negara ini biasanya disebut sebagai negara berkembang .
1.2.1Penyebab kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
• Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
• Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
• Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.
• Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
• Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negera terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang di istilahkan sebagai pekerja miskin yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.













BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penanganan Masalah dari Berbagai Aspek
Apabila studi masalah sosial dianggap sebagai suatu proses, maka penanganan kemiskinan sebagai salah satu bentuk masalah sosial selalu terkait dengan pemahaman terhadap latar belakang atau faktor-faktor yang di anggap sebagai sumber masalah. Strategi dan pendekatan dalam menangani masalah akan sangat di tentukan oleh pendekatan dalam menangani masalah yang digunakan dalam memahami latar belakang masalanya.
Sebagaimana sudah di uraikan sebelumnya, maka strategi pembangunan masyarakat dalam menangani kemiskinan akan sangat di pengaruhi oleh pendekatan dalam memahami latar belakang dari sumber masalahnya.
Dalam hal ini,upaya pembangunan masyarakat akan lebih di titik beratkan pada peningkatan kualitas manusianya sehingga dapat berfungsi lebih efektif dalam upaya peningkatan taraf hidupnya.
Sementara itu,apabila kemiskinan dianggap merupakan akibat dari kelemahan struktur dan sistem maka strategi penanganan kemiskinan lebih di titikberatkan pada perubahan sistem dan perubahan struktural.
Di samping itu, perubahan struktural juga dimaksudkan sebagai upaya pemberdayaan lapisan kemiskin sehingga akan memberi peluang yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam posisi tawar.
Dalam kaitannya dengan pembangunan masyarakat desa, Long (1977: 144) mengetegahkan adanya dua pendekatan utama. Pendekatan ini tidak melakukan perubahan mendasar dalam sistem dan struktur sosial, sehingga memungkinkan kesinambungan dan bertahannya institusi sosial dan sistem pemilikan tanah.
Di banding pertanian, pendekatan ini pernah diimplementasikan secara luas dalam bentuk revolusi hijau, yang di Indonesia salah satunya dalam program bimas dam inmas. Dengan cara tersebut, dapat terwujud dengan adanya redistribusi penguasaan resources yang memungkinkan berkurangnya konsentrasi penguasaan pera petani, dapat bekerja bagi tanah miliknya sendiri.
Dilihat dari seberapa jauh suatu strategi pembangunan, masyarakat melakukan perubahan struktural dalam rangka usaha peningkatan taraf hidup.
Dixon (1990: 59) membedakan adanya tiga strategi. Dari yang kurang mensyaratkan perubahan stuktural sampai yang lebih mensyaratkan perubahan struktural, urutannya adalah strategi teknokkratik, reformis dan radikal.
• Strategi teknokkratik terutama bertujuan untuk peningkatan produksi,dengan demikian sasaran utamanya adalah lapisan yang memungkinkan peningkatan produksi secara cepat dan efesien yaitu elite desa dan pemilik tanah luas.
• Strategi reformis bertujuan untuk melakukan redistribusi pendapatan di samping peningkatan produksi, untuk itu strategi ini mengambil sasaran utama petani menengah.
• Strategi radikal mempunyai tujuan utama melakukan perubahan struktural dan institusional dalam rangka mempercepat terjadinya redistribusi kewenangan politik, kekayaan dan produksi.
Melalui partisipasi ini maka lebih dapat diharapkan lapisan miskin tidak hanya kedudukan sebagai konsumen program, tetapi ikut serta menentukan program yang dianggap paling cocok bagi mereka.
Kramer (1969: 4) mengemukakan empat bentuk parsipasi lapisan miskin dalam program pengentasan kemiskinan.
• Bentuk pertama merupakan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan pada kebijakan pada program yang akan di jalankan.
• Bentuk ke dua partisipasi dalam perkembangan progam. Dasar pemikirannya adalah sebagai kelompok sasaran, lapisan miskin akan berkedudukan sebagai komsumen program. Oleh sebab itu agar program yang ditawarkan betul-betul sesuai dengan kebutuhan,maka mereka perlu di denger pendapat dan sarannya terutama tentang kebutuhan dan kepentingan yang betul-betul riil.
• Bentuk partisipasi ke tiga lebih menekankan pada keterlibatkan dalam gerakan sosial bentuk ini barangkali radikal dan kontroversial di bandingakan dengan bentuk yang lainnya.
• Bentuk partisipasi ke empat biasanya dinilai sebagai bentuk yang paling tidak kontroversial berupa keterlibatan lapisan miskin di dalam berbagai pekerjaan.
Keempat bentuk tersebut adalah sekadar alternatif yang di tawarkan kramer. Alternatif mana yang di pilih akan sangat ditentukan oleh kondisi permasalahan kemiskinan yang dihadapi.
Mengingat bahwa pembangunan masyarakat termasuk rangka pengentasan kemiskinan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, maka reorientasi kebijakan yang di maksud dapat di mulai dari lingkup pembangunan nasional.
Pertumbuhan ekonomi memang merupakan suatu syarat yang harus di penuhi tetapi belum merupakan sutu syarat yang mencukupi bagi terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi.
Oleh sebab itu, wajar apabila orang berharap dapat mengawinkan pertumbuhan dan pemerataan tersebut melalui strategi redistribusi dengan pertumbuhan. Strategi redistribusi dengan pertumbuhan ini terutama menekankan penyaluran kembali dana-dana investasi baru, terutama dari pemerintah kepada golongan penduduk yang paling miskin agar dengan demikian mereka dapat memupuk garta produktif yang dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan mereka.
Strategi alternatif yang di usulkan adalah bahwa porsi sumber daya pembangunan, tabungan, kredit, keahlian, keuangan, administrator dan kekuasaan harus semakin melimpah ditumpahkan ke daerah pedesaan (Nasikun, 1991)
Kecenderungan tersebut juga menjadi bahan pemikiran berbagai penyandang dana internasional yang memberikan bantuan kepada negara-negara sedang berkembang. Mereka mengharapkan agar bantuan tersebut lebih banyak di manfaatkan untuk kelompok sasaran lapisan masyarakat yang paling membutuhkan yaitu mayoritas penduduk miskin.

Tiga strategi dasar selama dasawarsa 1970-an :
1. Bantuan disalurkan ke tempat mayoritas penduduk miskin melalui program pembangunan desa terpadu.
2. Bantuan dipusatkan untuk mengatasi cacat standar kehidupan orang-miskin melalui program bantuan dasar manusia.
3. Bantuan dipusatkan kepada kelompok yang mempunyai ciri-ciri sosioekonomi melalui proyek yang sengaja dirancang untuk masyarakat khusus tertentu.(Rondiinelli, 1990: 91).
Orientasi produksi terutama berisi perluasan peluang kerja di daerah pedesaan dan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, permasalahan yang kemudian tampil adalah kesenjangan antara program pembangunan dengan kondisi, permasalahan dan kebutuhan nyata dalam masyarakat.
Atas dasar pemikiran itu maka strategi alternatif yang kemudian ditawarkan bukan pembangunan yang berorientasi produksi melainkan pembangunan yang berpusat pada rakyat, bukan program pembangunan yang bersifat uniform melainkan program yang memerhatikan variasi lokal. Berdasarkan analisis tentang berbagai faktor yang melatar belakangi dan dianggap sebagai sumber masalah kemiskinan tersebut.
Pada umumnya strategi penanganan kemiskinan yang bersifat nasional diusahakan menggunakan pendekatan yang komprehensif dan berusaha mengakomodasi penanganan berbagai sumber masalahnya.
Lima strategi utamanya adalah :
1. Perluasan kesempatan kepada kelompok miskin dalam pemenuhan hak-hak dasar dan tarif lama yang berkelanjutan.
2. Pemberdayaan kelembagaan masyarakat guna lebih memungkinkan partisipasi kelompok miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik.
3. Peningkatan kapasitas untuk mengembangkan kemampuan dasar dan berusaha agar kelompok miskin dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan.
4. Perlindungan sosial dan rasa aman terutama bagi kelompok rentan.
5. Penataan kemitraan global untuk menata ulang berhubungan dan kerjasama dengan lembaga internasional guna mendukung pelaksanaan strategi pertama sampai keempat.
2.2 Upaya Penanggulangan Kemiskinan
Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi penanganan kemiskinan pekerjaan social terfokus pada peningkatan kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan konsepsi yang dinamis dan multi-wajah, maka intervensi pekerjaan sosial senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip in dikenal dengan pendekatan “person in environment dan person in situation”.
Seperti yang telah dijelaskan diatas Depsos sebagai suatu instansi memiliki pula beberapa agenda yang memang merupakan disiapkan untuk menekan angka kemiskinan, diantara program kerja Depsos yang telah terealisasi yang menurut Edi Suharto, Phd adalah strategi pendekatan pertama yaitu pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana si miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer group), maupun masyarakat. Penanganan kemiskinan yang bersifat kelembagaan (institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa bentuk PROKESOS yang telah dan sedang dikembangkan oleh Depsos dapat disederhanakan menjadi :
1. pemberian pelayanan dan rehabilitasi social yang diselenggarakan oleh panti-panti sosial
2. program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial
3. bekerjasama dengan instansi lain dalam melakukan swadaya dan pemberdayaan usaha miro, dan pendistribusian bantuan kemanusiaan, dan lain-lain
Pendekatan kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya, strategi pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan self-determinism yang melihat si miskin secara individual yang memiliki masalah dan kemampuan unik. Program anti kemiskinan dalam kacamata ini disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang dihadapinya. PROKESOS penanganan kemiskinan dapat dikategorikan ke dalam beberapa strategi, diantaranya :
1. Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi korban bencana alam.
2. Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulant untuk usaha-usaha ekonomis produktif.
3. Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat, pembinaan anak dan remaja.
4. Strategi “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline Moser disebut sebagai “the missing piece strategy” ini meliputi program-program yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit, program KUBE (kelompok usaha bersama)


(referensi dari www.google.com dan wikipedia.com)

0 Comments: